Pengenalan Jenis Ular,
Konflik Ular-Manusia, dan Manajemen Gigitan Ular Berbisa di Jabodetabek
Seminar ular merupakan seminar yang diadakan oleh
KSHL Comata Universitas Indonesia. Seminar ini mengangkat tema mengenai
pengenalan jenis ular, konflik ular-manusia, dan manajemen gigitan ular berbisa
di jabodetabek.
Materi pertama dibawakan oleh Dr. Amir Hamidy, M.Sc
(Ketua Perhimpunan Herpetologi Indonesia). Materi ini berisi pengenalan jenis
ular dan identifikasi jenis ular yang berbisa dan tidak berbisa. Jenis ular
berbisa diantaranya ada Elapidae sebanyak 55 jenis, Viperidae sebanyak 21
jenis, Colubridae sebanyak 1 jenis. Phyton termasuk ular yang tidak berbisa
tetapi memiliki gigi yang tajam. Ular biasanya bertempat di padang savana,
mangrove, hutan gunung dan sungai. Kelenjar bisa pada ular hanya dimiliki oleh
ular yang berbiasa dan memiliki gigi tarinng. Ular itu berevolusi mengikuti
mangsanya.
Materi kedua dibawakan oleh Arbi Krisna K.
(Komunitas Aspera). Beliau memaparkan mengenai komunitas Aspera dan awal mula
terbentuknya komunitas Aspera. Aspera merupakan komunitas edukasi dan pemerhati
reptile. Komunitas ini didirikan atas kepedulian terhadap pelestarian reptile
dan stigma negative masyarakat terhadap keberadaan reptile. Nama Aspera
digunakan sebagai bentuk apresiasi pada ular asli Indonesia, yaitu Candoia aspera yang berasal dari Maluku
dan Papua. Komunitas Aspera mengadakan beberapa program kerja diantaranya
adalah sosialisasi reptile untuk anak anak, remaja, dan umum, rescue reptile di
kawasan padat penduduk, herping reptile, pelatihan P3K pada korban gigitan
ular, dan pelatihan handling reptile.
Materi ketiga dibawakan oleh salah satu perwakilan
dari komunitas Ciliwung Reptil Center (CRC). CRC merupakan komunitas yang
terbentuk di tahun 2015 dari sekelompok masyarakat yang ingin belajar mengenai
reptile. CRC mempunyai lokasi berkumpul yang terletak di Kp Glonggong,
Bojonggede, Bogor. Tepatnya di pinggir sungai ciliung. Target utama dari CRC
adalah menjadi pusat edukasi bagi masyarakat yang ingin belajar tentang
herpetofauna. Kegiatan yang dilakukan CRC diantaranya adalah edukasi yang
berisi paradigma dimana pendangan masyarakat bahwa ular itu berbahaya, lalu ada
penyadartahuan yaitu dibutuhkan penyadartahuan kepada masyarakat tentang ular
adar paradigmanya berubah, lalu ada konservasi yang diharapkan bisa
melestarikan semua jenis ular.
Materi terakhir dibawakan oleh DR. dr. Tri Maharani,
M.Si., SpEM. (Ahli penanganan gigitan ular berbisa (RECS Indonesia) Advisor
temporary of WHO for snake bite ). Beliau memaparkan mengenai pertolongan
pertama pada gigitan ular. Data yang terkumpul (Maret 2015 – Agustus 2016) di
kabupaten Bondowoso terdapat 148 kasus mulai kasus gigitan ular viper pohon ada
85 kasus, ular weling 5 kasus, kobra ada 5 kasus, dan ular tanah ada 2 kasus. 5
kasus oleh gigtan ular yang tidak berbisa. Bisa ular itu awal pertamanya tidak
masuk ke pembuluh darah. Jadi masih bisa ditangani oleh pertolongan pertama
dengan menggunakan bahan yang elastis, lalu diikat di kelenjar limfatik. Pressure
ini dilakukan dengan elastic bandage supaya bisa ular tidak langsung mengalik
ke pembuluh darah ataupun saraf. Indonesia memiliki anti bisa ular yaitu serum
anti bisa ular (SABU), serum ini baru ada 3 saja di indonesia dimana 3 itu
adalah ular Agkistradon rhodostoma, Naja
sputatrix, dan Bungarus fasciatus. Serum
terssebut digunakan pada saat terkena gigitan ular yang sudah memiliki serum
anti bisa. Tetapi banyak yang juga menyalahgunakan serum tersebut, dimana pada
korban gigitan ular yang tidak berbisa, dokter disana yang belum memahami
mengenai ini memberikan serum tersebut. Padahal serum tersebut hanya untuk
jenis ular yang sudah disebutkan.
Komentar
Posting Komentar