Kirim Delegasi 5 : Sacred Narrative dan Kearifan Lokal

Sacred Narrative dan Kearifan Lokal: Menjaga Ekologi Lewat Cerita dan Tradisi

(Ardha Febriandini - KSP XXII)

Di tengah dunia yang terus berubah—dengan modernisasi teknologi, ledakan populasi, perubahan iklim, deforestasi, hingga munculnya penyakit baru—kita sering lupa bahwa jawaban untuk menjaga keseimbangan alam justru ada di sekitar kita: pada tradisi, kearifan lokal, dan cerita-cerita yang diwariskan turun-temurun. Hal inilah yang dibahas dalam webinar "Sacred Narrative and Ecology (Pengetahuan Ekologi Berbasis Kearifan Lokal)" yang diselenggarakan oleh BRIN pada 29 Februari 2025.

Webinar ini membuka mata tentang bagaimana krisis ekologis saat ini tidak lepas dari ulah manusia. Salah satu contohnya adalah perburuan liar yang terjadi di wilayah Papua. Meskipun menggunakan teknik tradisional, perburuan ini tetap berdampak pada populasi hewan. Senjata tradisional yang dibuat dari bahan alami hutan digunakan untuk keperluan subsisten, dan para pemburu menggabungkan berbagai teknik dalam aktivitas mereka. Hal ini mencerminkan kedekatan antara manusia dengan alam, namun sekaligus menunjukkan tantangan dalam menjaga keseimbangan ekologis.

Permasalahan tidak berhenti di situ. Penyakit zoonosis—seperti rabies dan virus lain yang berasal dari hewan—mulai menyebar ke manusia, menandakan bahwa ekosistem yang terganggu dapat membawa dampak langsung ke kesehatan masyarakat. Maka pendekatan One Health diperkenalkan: sebuah paradigma yang mengintegrasikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Edukasi dan pelatihan menjadi kunci utama dalam pendekatan ini agar masyarakat bisa hidup berdampingan dengan alam secara harmonis.

Salah satu kisah yang menarik datang dari Sumatera Barat, tentang sebuah larangan berburu ikan di sungai tertentu. Sungai tersebut menyimpan keanekaragaman hayati luar biasa, dan untuk melindunginya, pemerintah menetapkan aturan larangan penangkapan jenis ikan tertentu. Pelanggaran terhadap aturan ini bahkan bisa berujung pada sanksi hukum. Tapi yang membuatnya istimewa bukan hanya soal regulasi—melainkan cerita rakyat yang menyertainya.

Sungai Jani, misalnya, dikenal sebagai tempat yang ‘sakral’. Konon, ada seorang ibu yang kehilangan anaknya di sungai itu. Setelah pencarian panjang yang sia-sia, sang ibu mendapatkan mimpi bahwa anaknya telah berubah menjadi seekor ikan. Sejak saat itu, ikan di Sungai Jani dianggap "ikan larangan", yang tidak boleh ditangkap karena dipercaya sebagai perwujudan roh sang anak. Cerita ini bukan sekadar mitos, tetapi telah menjadi bagian dari identitas sosial dan budaya masyarakat. Kepercayaan ini menjaga ekosistem tetap lestari, menciptakan kesadaran ekologis yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Cerita seperti ini menunjukkan bahwa pelestarian lingkungan tidak harus selalu dimulai dari teknologi atau kebijakan formal. Narasi sakral, nilai-nilai budaya, dan kearifan lokal dapat menjadi fondasi kuat untuk membangun hubungan harmonis antara manusia dan alam.

Saat dunia mencari cara-cara baru untuk menghadapi krisis ekologis, barangkali yang kita butuhkan adalah kembali mendengar cerita lama—yang selama ini ternyata menyimpan solusi masa depan.

Komentar