Menimbang Peran Ekosistem Lahan Basah dan Karst dalam Mitigasi Perubahan Iklim
(Rifky Adi - KSP XXI)
Webinar Sinergis Webinar Series: Wetland Carbon Stock Assessment for Sustainable Management yang diselenggarakan oleh Global Inti Sekawan pada 27 Maret 2025 mengangkat tema penting mengenai kontribusi ekosistem lahan basah dan karst dalam upaya pengurangan risiko perubahan iklim. Dalam pemaparan para peneliti, dibahas fenomena tren “karbon” yang saat ini tengah menjadi isu global utama, seiring dengan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca terutama karbon dioksida (CO₂) di atmosfer.
CO₂ merupakan gas rumah kaca yang mengalami peningkatan paling signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa hampir seluruh aktivitas manusia, baik di tingkat industri maupun individu, menghasilkan karbon. Ketidakseimbangan antara jumlah karbon yang dilepaskan dan kemampuan lingkungan untuk menyerapnya menjadi tantangan serius. Semakin banyak karbon yang dilepaskan, sementara kapasitas ekosistem penyerap karbon terus menurun akibat degradasi lingkungan dan alih fungsi lahan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Katadata Green, Indonesia termasuk dalam sepuluh besar negara penghasil emisi karbon tertinggi di dunia, dengan total emisi mencapai 700 juta ton per tahun. Ironisnya, Indonesia juga memiliki potensi besar sebagai penyerap karbon karena kekayaan ekosistem alaminya. Salah satu kontributor terbesar emisi karbon nasional berasal dari sektor AFOLU (Agriculture, Forestry, and Other Land Uses), yang menempatkan Indonesia pada peringkat kedua dunia setelah Brasil, dengan total emisi sebesar 930 juta ton per tahun dari sektor ini.
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya dalam pengendalian emisi melalui regulasi nasional. Peraturan Presiden (Perpres) No. 61 Tahun 2011 menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% secara mandiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Komitmen tersebut diperkuat dalam Perpres No. 98 Tahun 2021 yang tidak hanya memperluas cakupan kebijakan penurunan emisi, tetapi juga mengatur skema carbon trading (perdagangan karbon) melalui mekanisme carbon credit yang kini mulai diimplementasikan di berbagai sektor.
Meski demikian, secara realistis, menghapus emisi karbon secara total bukanlah hal yang mungkin dicapai, mengingat aktivitas harian manusia akan terus menghasilkan emisi. Oleh karena itu, strategi carbon offset menjadi pendekatan paling rasional. Pendekatan ini menekankan pada pengurangan emisi dari sumbernya dan peningkatan upaya konservasi terhadap ekosistem yang berperan sebagai penyerap karbon, dengan mempertimbangkan karakteristik masing-masing sektor emisi.
Dalam konteks sektor AFOLU, pengendalian emisi dilakukan melalui inventarisasi dan pengelolaan ekosistem yang mampu menyimpan karbon dalam bentuk carbon pool atau melakukan carbon sequestration. Salah satu langkah strategis adalah mengidentifikasi ekosistem yang memiliki potensi besar dalam menyimpan karbon, seperti lahan basah dan kawasan karst.
Secara ilmiah, dalam siklus karbon global dikenal lima tandon utama yang berfungsi sebagai penyimpan karbon, yaitu:
1. Lautan, yang menyerap karbon dalam bentuk karbonat terlarut dan biomassa laut.
2. Batuan geologis, termasuk kawasan karst, yang menyimpan karbon dalam bentuk senyawa karbonat dalam formasi batuan.
3. Tanah, sebagai penyimpan karbon organik dari sisa organisme dan bahan organik lainnya.
4. Atmosfer, yang meskipun bukan penyimpan ideal, menjadi bagian dari peredaran karbon.
5. Vegetasi, terutama hutan dan ekosistem lahan basah, yang menyerap karbon melalui proses fotosintesis.
Lahan basah, terutama gambut dan mangrove, memiliki kapasitas tinggi dalam menyimpan karbon jangka panjang karena kemampuannya menahan bahan organik dalam kondisi anaerobik. Sementara itu, kawasan karst berkontribusi melalui kemampuan penyimpanan karbon dalam bentuk geologis, sekaligus mendukung keseimbangan hidrologi dan keanekaragaman hayati.
Melalui pengelolaan ekosistem-ekosistem ini secara berkelanjutan, Indonesia tidak hanya dapat memperkuat kontribusinya dalam mitigasi perubahan iklim global, tetapi juga menjaga kestabilan ekologi nasional. Strategi ini menuntut kolaborasi lintas sektor serta integrasi kebijakan lingkungan, kehutanan, pertanian, dan energi dalam satu kerangka kerja yang berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang.
Komentar
Posting Komentar