Invite: Ternyata Monyet Ekor Panjang punya Banyak "Wajah"?

 Kuliah Umum YIARI x KSP Macaca UNJ x Prodi Biologi UNJ : Pengenalan Dasar Subspesies Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Indonesia

(Dewi Shinta – KSP XXII, Nadiva Tiara Anugraheni Purnama – KSP XXII, Siji Gusti Siji Dina – KSP XX)


Pada hari Rabu, 07 Mei 2025 KSP Macaca UNJ berkolaborasi dengan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia dan Prodi Biologi UNJ mengadakan kuliah umum yang berjudul “Pengenalan Dasar Subspesies Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Indonesia” yang berlokasi di Gedung Hasjim Asjari FMIPA UNJ. Kuliah umum ini dihadiri oleh berbagai mahasiswa aktif prodi Biologi UNJ yang sangat antusias untuk mendapatkan ilmu pengetahuan baru yang keren dan bermanfaat. Adapun acara ini dibawakan oleh MC, yaitu Fadhila KSP XX dan dimoderatori oleh Yasmine KSP XX. Oleh karena itu, Dewi KSP XXII, Nadiva KSP XXII, dan Siji KSP XX membuat rangkuman mengenai materi yang dapat bermanfaat untuk kita semua. Selamat membaca!


Pengenalan Dasar Subspesies Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Indonesia

Materi ini dibawakan oleh Elisabet R. R. B. Hutabarat, Macaca Conservation Assistant Manager Yayasan IAR Indonesia. Yayasan IAR (Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia) atau seringkali disebut YIARI merupakan lembaga yang bergerak di bidang konservasi primata Indonesia berbasis standar perawatan, pemulihan, pelepasliaran dan pemantauan pasca lepas liar. YIARI tersebar di Lampung, Jakarta dan Jawa Barat, serta Kalimantan Barat. YIARI juga memiliki fokus keprimataan pada Kukang, Orangutan, dan Macaca (Macaca fascicularis, Macaca nemestrina). Pada tanggal 1-7 Mei dirayakan sebuah event “International Macaque Week” yang sudah dilaksanakan sebelumnya pada bulan Maret, hingga berjalan di awal bulan Mei. Dalam event ini, YIARI berpartisipasi mengenalkan subspesies Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang ada di Indonesia. Penyebaran subspesies ini dikarenakan faktor regional. YIARI melakukan penelitian ini karena persebaran monyet ekor panjang yang masih terlalu luas dan terbatasnya persebaran data subspesies, serta bagaimana interaksi antarsubspesies yang ada sehingga adanya penelitian ini dapat menambah pengetahuan yang sudah ada.

Penelitian yang dilakukan oleh YIARI dilakukan dengan survei cepat metode concentration count dan analisa data menggunakan kepadatan populasi dan kelimpahan melalui aplikasi ARCGIS software. Waktu penelitian dilakukan di jam 05-00 – 12.00 siang, 12.00 – 18.00 sore dengan 497 plot survei 1 km x 1 km. Lokasi penelitian dilakukan di Pulau Karimun Jawa, Pulau Maratua, Pulau Simeulue, dan Pulau Lasia. 

Terdapat 5 subspesies Macaca fascicularis yang tercatat di Indonesia berdasarkan survei YIARI. Empat bersifat endemik pulau kecil, satu tersebar luas di wilayah besar. Di antaranya subspesies yang ditemukan ialah:

  1. Macaca fascicularis fascicularis

Ciri-cirinya adalah berwarna tubuh abu-abu kecoklatan, jambul kecil di kepala, tubuh ramping, dan ekornya panjang. Subspesies yang paling luas persebarannya.

  1. Macaca fascicularis karimondjawae

Subspesies ini hidup di Taman Nasional Karimunjawa, Jawa Tengah. Ciri khasnya adalah bagian atas kepala berbentuk seperti topi kecil berwarna gelap, rambut di pipi panjang seperti kumis, dan dada berwarna putih cerah. Warna tubuh secara umum coklat keemasan, dengan bagian tangan (dalam dan luar) berwarna gelap kehitaman. Total populasi yang tercatat adalah 119 individu, dengan kepadatan populasi sekitar 3,61 individu/km².

  1. Macaca fascicularis tua

Subspesies ini ditemukan di Pulau Maratua, Kalimantan Timur. Ciri-cirinya antara lain bagian telinga dan wajah yang hampir seluruhnya berwarna gelap, termasuk pipi, janggut, dan hidung. Lengan bagian luar berwarna gelap, sedangkan bagian dalamnya putih. Dada hingga perut berwarna putih, dan tubuh bagian luar coklat keabu-abuan. Tercatat sebanyak 176 individu, dengan kepadatan tertinggi dari empat lokasi, yaitu 4,33 individu/km².

  1. Macaca fascicularis fusca

Ditemukan di Pulau Simeulue, Aceh. Subspesies dengan jumlah individu terbanyak, yaitu 259 ekor, tetapi sebarannya luas (di pulau seluas 1.844 km²) sehingga kepadatan populasinya justru paling rendah, sekitar 0,63 individu/km². Hampir seluruh tubuhnya berwarna gelap kehitaman, dengan sedikit warna putih di dada. Masyarakat setempat menyebutnya lutung, meskipun secara ilmiah bukan bagian dari genus Trachypithecus.

  1. Macaca fascicularis lasiae

Ditemukan di Pulau Lasia, bagian dari wilayah barat Sumatera dekat Simeulue. Memiliki jambul di kepala, telinga yang runcing dan tinggi, serta bulu di tubuh yang berwarna abu muda. Dada dan perutnya lebih cerah, yaitu putih dengan sedikit coklat. Lengan bagian dalam berwarna putih, sementara bagian luarnya abu-abu. Populasi yang tercatat hanya 43 individu, dengan kepadatan sekitar 3,07 individu/km², menjadikannya salah satu yang paling rentan.


Perbandingan jumlah kelompok dan individu pada 4 pulau:

  1. Pulau Karimun Jawa : 11 perjumpaan, 119 individu

  2. Pulau Maratua : 13 perjumpaan, 176 individu

  3. Pulau Simeulue : 22 perjumpaan, 259 individu

  4. Pulau Lasia : 5 perjumpaan, 43 individu


Jenis pakan subspesies monyet ekor panjang yang ditemukan dapat berupa sawit, kelapa, jambu, dan ditemukan juga ada yang memakan sisa makanan ataupun sampah. Survei sosial yang dilakukan melalui kegiatan wawancara untuk mengetahui apakah ada interaksi antara manusia dan monyet ekor panjang. Pulau Karimun Jawa, Maratua, dan Simeulue menunjukkan adanya monyet ekor panjang yang mengganggu dan merusak pertanian sehingga adanya pemberian racun, memasang jebakan, sampai menggunakan anjing pengusir. Selain itu, ditemukan juga warga yang memelihara monyet ekor panjang karena kurang pahamnya bahwa monyet ekor panjang merupakan satwa liar. Pemeliharaan satwa dapat meningkatkan risiko zoonosis. Pulau Lasia tidak ditemukan adanya gangguan dan tidak ada warga yang memelihara monyet ekor panjang.



Kesimpulan dari materi yang disampaikan, yaitu ditemukan data populasi 597 individu (4 pulau) dengan kepadatan populasi rendah, subspesies yang ditemukan berada pada habitat tepi hutan alam dan lanskap antropogenik, peran ekologis memiliki kontributor pemeliharaan hutan bakau dan hutan pantai, serta sifat filantropis memicu persaingan sumber daya makanan dengan manusia sehingga memunculkan interaksi negatif, seperti penganiayaan, peracunan, dan penembakan pada monyet ekor panjang. Oleh karena itu, perlu adanya kontribusi untuk meningkatkan pemahaman terkait keberlangsungan hidup satwa khususnya monyet ekor panjang, akademisi dapat melakukan penelitian lanjut untuk dapat monitoring secara rutin terhadap populasi monyet ekor panjang di pulau kecil dan wilayah urban yang memiliki interaksi negatif dengan manusia.


E-Pamflet


Dokumentasi


Komentar