Kirim Delegasi 7: Webinar Nasional Biologi Universitas Nasional

 

Webinar Nasional Biologi Universitas Nasional

“Mengenal Orangutan Melalui Stasiun Riset di Indonesia”

Gabriella Oktavianti Prabowo (KSP XVII)

 

     

        Jakarta - Pada (19/08/2021) telah dilaksanakan Webinar Nasional Biologi Universitas Nasional dengan tema "Mengenal Orangutan melalui Stasiun Riset di Indonesia" yang diselenggarakan oleh Lutung" Forum Studi Primata (FSP), Pusat Riset Primata (PRP) dan Fakultas Biologi UNAS bekerjasama dengan FORINA dan PERHAPPI . Webinar ini diadakan sebanyak 2 sesi, yaitu:

 

Sesi Pagi “Berbagi Pengalaman dan Ilmu dari 9 Stasiun Riset Orangutan”
   
 Dimoderatori oleh:
  • Didik Prasetyo, Ph.D. (Ketua PERHAPPI) > Sub sesi Kelompok Kalimantan 
  • Ronna Saab, M.Si. (Sekretaris Eksklusif FORINA) > Sub sesi Kelompok Sumatera
            Sesi pertama diisi para pembicara yang membahas seputar pengalaman dan ilmu mereka pada stasiun-stasiun riset orangutan di Indonesia, utamanya di pulau Kalimantan dan Sumatera. Terlebih dahulu diulas fokus pada stasiun riset di Kalimantan, yang dipandu oleh Pak Didik Prasetyo dari Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia (PERHAPPI). Pak Didik menjelaskan secara singkat tentang sejarah stasiun riset di Indonesia, sebelum mulai mempersilahkan pemateri untuk berbicara.
         
 
 
Materi 1: Bu Lita Kabangnga dari Taman Nasional Kutai 
        Dijelaskan tentang stasiun riset yang ada di TN Kutai, yaitu Stasiun Riset Prevab-Mentoko. Sejarahnya adalah mulai dari pembangunan Kamp Mentoko oleh beberapa peneliti luar pada tahun 1970, lalu dilanjutkan dengan Kamp Prevab (Suzuki), hingga yang terakhir adalah Kamp Bendili. Stasiun Riset Mentoko merupakan stasiun riset orangutan pertama di Indonesia, dengan fokus utama meneliti orangutan Pongo pygmaeus subspesies morius dengan jumlah populasi terbesar yaitu sekitar 14.000 spesies. Stasiun ini memiliki riwayat kebakaran sebanyak 2 kali. Kegiatan yang berlangsung di Stasiun Riset Mentoko antara lain penelitian, pendidikan lingkungan, wisata, pemberdayaan masyarakat, serta pemulihan ekosistem seperti perbanyakan pohon pakan. 
 
 
Materi 2: Bu Renie Djojoasmoro dari Orangutan Foundation Indonesia        
        Bergeser ke Kalimantan Tengah, Bu Renie menjelaskan tentang stasiun riset yang ada di TN Tanjung Puting, yaitu Stasiun Riset Kamp Leakey dengan luas kurang lebih 4100 Ha. Stasiun ini didirikan oleh Dr. Birute Galdikas yang juga mendirikan OFI (sebelumnya bernama ORCP; Orangutan Research and Conservation Project). Dr. Birute Galdikas mengabdikan 10.000 jam untuk pengamatan orangutan liar dan mencatatkan banyak data yang sebelumnya tidak pernah ada detailnya. 
 
 
Materi 3: Bapak Hendra Gunawan dari Orangutan Foundation UI
        Pak Hendra berfokus pada Suaka Margasatwa Lamandau, terutama fasilitas penelitiannya. SM Lamandau tidak memiliki stasiun riset, namun memiliki banyak fasilitas yang bisa digunakan untuk mendukung penelitian. Terdapat banyak definisi dan batasan terkait kegiatan penelitian, dan dinyatakan bahwa stasiun penelitian ditetapkan oleh Kepala UPT dengan persetujuan Dirjen KLHK. Terdapat berbagai zona dengan berbagai ketentuan serta sarana dan prasana, dan diketahui bahwa stasiun penelitian dapat terdiri dari beberapa stasiun pengamatan. Diceritakan pula pengalaman dari Pak Hendra di berbagai stasiun penelitian yang ada di luar kawasan Lamandau, seperti misalnya Stasiun Riset Pondok Ambung di TN Tanjung Puting. Diberitahukan pula beasiswa untuk para mahasiswa penelitian yang hendak melakukan riset orangutan, dengan topik prioritas tertentu. 
 
 
Materi 4:  Bapak Andi Muhammad Khadafi dari Taman Nasional Sebangau      
        Pak Andi tidak berfokus pada stasiun riset, tetapi pada Pusat Informasi, Riset, dan Pariwisata Alam (PIRPA) Punggualas. Banyak kekhasan yang dimiliki tempat ini, yaitu di antaranya adalah bekas area illegal logging, berupa hutan rawa gambut yang berisi 405 kanal air, mudah terbakar karena air yang cepat keluar, dan ada sekitar 60 orang peneliti lapangan yang berasal dari desa terdekat. Ekowisatanya berbasis riset. Banyak studi dilaksanakan di PIRPA Punggualas, seperti studi dampak ekonomi kegiatan ekowisata, sebaran pohon pakan, studi perilaku, dan lain-lain. 
 
 
Materi 5:  Bu Prima Lady dari Biologi UNAS  
        Menuju sedikit ke utara, Bu Prima menjelaskan tentang Stasiun Riset Tuanan yang masih berada di Kalimantan Tengah, dalam wilayah Hutan Lindung Kapuas Kahayan dan Kawasan Konservasi Mawas milik Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation. Didalamnya terdapat lebih dari 50 individu orangutan liar. Stasiun riset ini didirikan pada tahun 2000 oleh UNAS, Universitas Zurich dan BOS Foundation; serta dalam perkembangannya juga bekerjasama dengan Universitas Rutgers. Keanekaragaman hayatinya sangat tinggi, seperti misalnya ditemukan hingga mencapai 113 jenis tumbuhan. Terdapat juga program Study Exchange dan Pengabdian Masyarakat. 
 
 
Materi 6: Bapak Tri Wahyu Susanto dari Yayasan Palung    
        Bapak Tri menjelaskan perihal stasiun riset terakhir yang dibahas dari pulau Kalimantan dalam webinar ini, yaitu Stasiun Riset Cabang Panti. Stasiun ini didirikan oleh 1985 oleh Mark Leighton yang merupakan mahasiswa Harvard. Keanekaragaman hayatinya juga cukup tinggi, seperti 400 jenis pohon pakan dari OU, 70 jenis mamalia, hingga 250 jenis burung. Jumlah individunya sendiri adalah 2500 individu OU. Total ada 142 peneliti asing dan 159 peneliti Indonesia yang pernah memakai stasiun riset ini dari kurun waktu 1986-2020. Kerjasamanya antara lain dengan UNAS, Universitas Boston, Universitas Michigan, Univ. Tanjung Pura dan Yayasan Palung sendiri.   
 
 
        Selanjutnya adalah sub sesi kedua, terkait stasiun riset yang berada di Pulau Sumatera. Sub sesi ini berganti moderator, menjadi dipandu oleh Bu Ronna Saab dari FORINA. Terlebih dahulu dikenalkan oleh Bu Ronna mengenai stasiun riset di Sumatera yang berjumlah 4 stasiun, sebelum akhirnya dipersilahkan masing-masing pembicara untuk memaparkan materinya. 
 
 
 
Materi 7: Bu Tri Rahmaeti dari Biologi UNAS
        Bu Tri memulai sebagai pembicara yang berfokus di Sumatera, yaitu tepatnya pada Stasiun Riset SUAQ Balimbing yang didirikan oleh Prof. Dr. Carel van Schalk dari Universitas Duke. Terletak di Kawasan TN Gunung Leuser, Aceh. Keunikannya adalah orangutan di sekitar stasiun riset ini sangat sosial dan mudah dekat dengan manusia, terutama peneliti, serta sangat adaptif. Diadakan juga pengabdian masyarakat, seperti edukasi berbagai sekolah 
 

Materi 8: Bu Andayani Oerta dari Sumatran Orangutan Conservation Programme – Yayasan Ekosistem Lestari (SOCP-YEL) 
        Bu Andayani menjelaskan masih dari TN yang sama, namun dengan stasiun yang berbeda yaitu Stasiun Riset Sikundur yang berada di wilayah Sumut. Dibangun dari bekas hutan produksi dan pos monitoring yang akhirnya direbuild menjadi sebuah stasiun riset. Di sekitar stasiun ini juga menjadi habitat bagi gajah sumatera dan vegetasinya didominasi pohon pakan orangutan berupa Palem Sang. Orangutan yang sudah dinamai berjumlah sekitar 30 individu dan teridentifikasi 175 jenis pakan 
 
 
Materi 9: Bu Sheila Kharismadewi dari SOCP-YEL  
        Bu Sheila mengenalkan salah satu stasiun riset yang mungkin sedang banyak dikenal karena penemuan spesies orangutan barunya, yaitu Stasiun Riset Batang Toru yang berada di Sumatera Utara. Dikatakan bahwa ekosistem yang ada di Batang Toru sangat terfragmentasi oleh jalan dan desa, sehingga sangat rawan dan memiliki kepadatan yang rendah. Hutannya didominasi tebing dan jurang serta sungai, sehingga cukup berbahaya dan sulit dieksplorasi.
 
 
 
 Sesi siang “Napak Tilas 50 Tahun Stasiun Riset Ketambe”
 
        Sesi kedua diisi para pembicara yang membahas dengan lebih spesifik, pada satu stasiun riset yang memegang predikat stasiun riset orangutan tertua, yaitu Stasiun Riset Ketambe. Moderatornya adalah Bu Suci Atmoko dari Pusat Riset Primata (PRP) UNAS. Terlebih dahulu dijelaskan oleh Bu Suci tentang letak dari Stasiun Riset Ketambe, termasuk Sungai Alas yang menjadi lambang dari stasiun riset ini. Pak Jefry sebagai pemateri pertama menjelaskan perihal peran taman nasional tempat Stasiun Riset Ketambe berada, yaitu TN Gunung Leuser. Ekosistem yang ada di TN Gunung Leuser sangat beragam yang terdiri dari 718 spesies flora dan 633 spesies fauna,  karena posisi zona tropisnya, sehingga mempengaruhi keanekaragaman di Stasiun Riset Ketambe pula. Diketahui bahwa Stasiun Riset Ketambe sudah berdiri dari tahu 1971 dan sampai kini masih didominasi oleh orangutan liar. 
 
        Hal ini dikarenakan orangutan rehabilitasi sangat disarankan untuk tidak dicampur dan akhirnya dialihkan ke kawasan Bukit Lawang. Menurut Pak Herman Rijksen, sebagai pendiri Stasiun Riset Ketambe sendiri, inisiasi dalam mendirikan stasiun riset sudah dirintis sejak zaman kolonialisme, yaitu berdirinya International Nature Protection yang kini telah dikenal dengan nama IUCN. Pak Herman kemudian mulai membangun kamp di daerah Sumut untuk memfasilitasi peneliti lainnya dalam menggali ilmu perihal orangutan, dengan keyakinan bahwa dengan semakin banyak penelitian orangutan maka pelestarian primata tersebut semakin mudah dilakukan. 
 
 
 
        Selanjutnya adalah materi dari Pak Carel van Schalk dari Universitas Zurich. Pak Carel lebih berfokus pada dasar ilmiah pendirian Stasiun Riset Ketambe, dengan studi wilayah terutama hutan-hutan Indonesia yang berpotensi tinggi dalam keanekaragaman, studi pakan seperti fenologi pohon, hingga masting. Di stasiun riset Ketambe juga dipelajari kepadatan dan ketinggian orangutan berada berdasarkan keberadaan pakan, serta pola geografis. Oleh Pak Tatang Mitra Setia dari UNAS, dikatakan berawal dari kerjasama UNAS dan Universitas Utrecht dalam rangkaian penelitian di stasiun riset Ketambe. Oleh Pak Ary, Bu Fitriah, Pak Musdi, Bu Rina dan Pak Arwin juga tidak ketinggalan dalam menceritakan pengalaman mereka yang berharga di Stasiun Penelitian Ketambe.   
     
        Acara ditutup oleh moderator, disusul dengan penyerahan sertifikat serta foto bersama yang dipandu oleh MC. 
 
 
 

Salam Lestari!

Salam Konservasi!

KSP Macaca UNJ

Inisiatif, Kreatif, Kontributif

© HUMAS KSP Macaca UNJ

Komentar