Kirim Delegasi 4 : Hari Primata Indonesia

 PERINGATAN HARI PRIMATA NASIONAL

Talk Show: Primata Jawa

(Salsa Fitria Bella, Nabila Aisyah Putri Suwandi - KSP XXI)


Pada Sabtu, 8 Februari 2025, KSP Macaca UNJ diwakili oleh Bella, Nabila, serta Yasmine, Zahra, Danisya dan Dita berkesempatan untuk hadir dalam acara Talk Show dan juga Photo Competition bertemakan “Primata Jawa” yang diselenggarakan oleh Naturalist Hub, Bogor Barat, pada Sabtu, (08/25). Talk Show tersebut didukung juga oleh Bogor Naturalist dan Yayasan ENA.


Acara ini menghadirkan narasumber dari kalangan pakar dan praktisi konservasi terkemuka, yakni diantaranya Dr. Puji Rianti, S.Si., M.Si., dosen Biologi sekaligus peneliti di Pusat Studi Satwa Primata IPB; Rahayu Oktaviani, M.Sc., Direktur KIARA (Konservasi Ekosistem Alam Nusantara); Drh. Ristanti Putri Utami, seorang dokter hewan berpengalaman di bidang konservasi satwa liar; serta Katey Hedger, Regional Manager dari Little Fireface Project.


Diskusi dalam talkshow ini dibuka dengan apik oleh pembicara pertama, Ibu Dr. Puji Rianti, S.Si., M.Si., yang membawakan topik “Pengenalan Primata Jawa serta Celah dalam Riset dan Konservasinya”. Dalam pemaparannya, beliau memperkenalkan berbagai jenis primata yang terdapat di Pulau Jawa. Beliau menekankan bahwa primata merupakan conservationist sejati, primata memainkan peran kunci dalam menjaga kestabilan ekosistem dan memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi.

Selain itu, Bu Puji menjelaskan berbagai ancaman yang dihadapi primata Jawa saat ini, diantaranya seperti kehilangan habitat, perburuan dan perdagangan ilegal, perubahan iklim, serta populasi yang semakin kecil. Celah dalam penelitian, seperti kurangnya data populasi, studi perilaku yang masih terbatas, dan minimnya keterlibatan komunitas dalam riset konservasi, juga tak luput menjadi bagian penting dalam pembahasannya.

Lebih lanjut, beliau memaparkan metode riset yang dapat digunakan untuk mengatasi kendala tersebut, strategi dalam mengatasi celah riset, serta berbagai inisiasi konservasi yang telah dilakukan. Peran masyarakat dalam upaya konservasi juga menjadi poin utama, termasuk tren dan inovasi terbaru dalam bidang konservasi primata. Sebagai penutup, beliau menegaskan pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak untuk mengatasi tantangan dalam riset dan konservasi primata Jawa.

Selanjutnya, diskusi dilanjutkan oleh pembicara kedua, Ibu Rahayu Oktaviani, M.Sc., dengan topik “Konservasi Owa Jawa melalui Pemberdayaan Perempuan dan Komunitas Lokal”. Dalam pemaparannya, beliau membahas salah satu habitat utama Owa Jawa yang terdapat di Hutan Citalahab, yang terletak di jantung Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), sebuah kawasan konservasi di perbatasan Jawa Barat. Area ini berbatasan langsung dengan pemukiman manusia, yang menyebabkan timbulnya ancaman terhadap kelestarian Owa Jawa.


Untuk mengatasi tantangan tersebut, dilakukan monitoring jangka panjang guna mengembangkan data dasar mengenai populasi Owa Jawa, termasuk perilaku, pola makan, ketersediaan pangan, hingga ditemukan demografi spesies ini. Bu Rahayu menekankan pentingnya berbagi akses terhadap pengetahuan dan manfaat dari penelitian dengan cara membangun kapasitas masyarakat, berbagi hasil penelitian, menghormati serta mengintegrasikan kearifan lokal, serta membangun kemitraan yang setara dalam upaya konservasi.


Selain itu, beliau juga menyoroti peran perempuan dalam masyarakat serta stereotip yang masih melekat terhadap perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki potensi besar sebagai penyampai pengetahuan lintas generasi serta sebagai agen perubahan dalam upaya konservasi. Dengan meningkatkan keterlibatan perempuan dan komunitas lokal, diharapkan upaya pelestarian Owa Jawa dapat berjalan lebih efektif dan berkelanjutan.


Diskusi ketiga dilanjutkan oleh Ibu Drh. Ristanti Putri Utami dengan topik “Konservasi Lutung dan Surili melalui Rehabilitasi dan Pelepasliaran”. Dalam pemaparannya, beliau menjelaskan peran utama pusat rehabilitasi, yang mencakup rescue (penyelamatan), rehabilitasi, dan release (pelepasliaran). Satwa yang masuk ke pusat rehabilitasi akan menjalani pemeriksaan kesehatan awal, kemudian dikarantina sebelum memasuki tahap sosialisasi dengan sesama jenisnya. Setelah satwa dinilai mampu bersosialisasi dengan baik, mereka menjadi kandidat pelepasliaran. Sebelum dilepasliarkan, satwa terlebih dahulu menjalani tahap habituasi untuk beradaptasi dengan lingkungan alaminya, kemudian dilepas ke habitatnya dengan tetap dilakukan pemantauan (monitoring) pasca pelepasliaran.


Beliau juga memberikan pengetahuan menarik mengenai asal-usul satwa yang masuk ke pusat rehabilitasi, yang umumnya ternyata berasal dari penyitaan oleh BKSDA atau kepolisian, informasi dari masyarakat lokal, serahan sukarela dari warga, serta repatriasi dari luar negeri. Dari data yang dipaparkan, sebagian besar satwa yang masuk merupakan korban perdagangan ilegal satwa liar (illegal pet trade) dan sering kali pada usia bayi. Selain itu, ditemukan beberapa individu satwa yang menunjukkan perilaku stereotipik atau abnormal, seperti mengisap jari atau berulang kali menggoyangkan tubuhnya—yang dalam kasus satwa bernama Udin disebut sebagai "goyang Udin".


Beliau menekankan bahwa setiap satwa memiliki kondisi yang berbeda, sehingga durasi rehabilitasi dapat bervariasi tergantung pada kondisi fisik dan mental mereka. Dalam upaya pelepasliaran, terdapat dua sistem, yaitu reintroduksi (pelepasan satwa yang telah lama kehilangan kontak dengan habitat aslinya) dan reinforcement (penambahan individu baru ke populasi liar untuk memperkuat keberlanjutan spesies di alam).


Diskusi terakhir dalam talkshow ini disampaikan oleh Ibu Katey Hedger, yang membahas topik “Konservasi Kukang Jawa melalui Program Kopi Berkelanjutan”. Dalam pemaparannya, beliau menjelaskan keberagaman jenis kukang yang ada di Indonesia serta penelitian yang dilakukan di Desa Cipaganti, Kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat. Penelitian ini mengungkap berbagai ancaman yang dihadapi kukang Jawa, termasuk deforestasi, sengatan listrik, perburuan dan perdagangan ilegal, serta pelepasliaran yang tidak tepat.


Salah satu tantangan utama dalam konservasi kukang Jawa adalah fragmentasi habitat, yang memaksa kukang untuk melakukan perilaku terestrial. Perilaku ini sangat berisiko karena meningkatkan kemungkinan serangan dari predator. Untuk mengatasi permasalahan ini, dilakukan pembangunan koridor/jembatan buatan. Little Fireface Project telah membuat pembangunan jembatan buatan ini untuk memberikan akses bagi kukang ke habitat yang lebih layak serta sumber makanan baru, sekaligus mengurangi risiko kematian akibat pergerakan di tanah dan merayap di kabel listrik.


Selain itu, Bu Katey juga menjelaskan konsep "Kopi Kukang", yang berasal dari perkebunan kopi yang terletak di habitat asli kukang. Keistimewaan kopi ini tidak hanya terletak pada cita rasanya, tetapi juga pada prinsip budidaya berkelanjutan yang diterapkan dalam pengelolaannya. Program ini menjadi langkah nyata dalam mendukung konservasi keanekaragaman hayati khususnya kukang, sekaligus memberdayakan masyarakat lokal.

Talkshow “Primata Jawa” ini telah memberikan wawasan mendalam mengenai konservasi primata, tantangan yang dihadapi, serta strategi yang dapat dilakukan untuk melestarikan mereka di habitat aslinya. Berbagai perspektif dari para ahli menggarisbawahi pentingnya penelitian berkelanjutan, keterlibatan masyarakat, serta sinergi antara konservasi dan pemberdayaan ekonomi, seperti yang dicontohkan dengan menarik dalam program “Kopi Kukang”.

Melalui acara talkshow ini, kita diingatkan bahwa upaya konservasi bukan hanya tanggung jawab para peneliti atau organisasi lingkungan, tetapi juga membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat umum. Dengan meningkatnya kesadaran dan keterlibatan aktif dalam menjaga keseimbangan ekosistem, kita dapat memastikan bahwa primata Jawa dan satwa liar lainnya tetap lestari untuk generasi mendatang. 



Komentar